Browse: Home > paskah > THE PASSION OF JIM CAVIEZEL
Sabtu, 23 April 2011
THE PASSION OF JIM CAVIEZEL
Ini kesaksian seorang aktor Holywood yang menjadi pemeran Tuhan Yesus dalam film The Passion Of The Christ.
Jim Caviezel adalah aktof Holywood yang memerankan Tuhan Yesus dalam film The Passion Of The Christ. Ini kesaksiannya.
Jim Caviezel adalah seorang aktor biasa dengan peran-peran kecil dalam film-film yang juga tidak besar. Peran terbaik yang pernah dimilikinya sebelum The Passion adalah sebuah film perang yang berjudul “The Thin Red Line”. Itupun hanya satu peran dari beigtu banyak aktor besar yang berperan dalam flm kolosal itu.
Dalam The Thin Red Line, Jim berperan sebagai prajurit yang berkorban demi menolong teman-temannya yang terluka dan terkepung musuh,ia berlari memancing musuh ke arah yang lain walaupun ia tahu ia akan mati, dan akhirnya musuhpun mengepung dan membunuhnya. Kharisma kebaikan, keramahan, dan rela berkorban ini menarik perhatian Mel Gibson, yang sedang mencari aktor yang tepat untuk memerankan konsep film yang sudah lama disimpannya, menunggu orang yang tepat untuk memerankannya.
“Saya terkejut suatu hari dikirimkan naskah sebagai pemeran utama dalam sebuah film besar. Belum pernah saya bermain dalam film besar apalagi sebagai pemeran utama. Tapi yang membuat saya lebih terkejut lagi adalah ketika tahu peranyang harus saya mainkan. C’mon?! Dia Tuhan, siapa yang bis amengatahui apa yang ada dalam pikiran Tuhan dana memerankannya? Mereka pasti bercanda! Besok paginya saya mendapatkan sebuah telepon, “Hallo.. Ini Mel”, kata suara dari telepon tersebut. “Mel siapa?”, tanya saya bingung. say atidak menyangka kalau itu Mel Gibson, salah satu aktor dan sutradara Holywood yang terbesar. Mel kemudian meminta kami bertemu dan saya menyanggupinya.
Saat kami bertemu, Mel kemudian menjelaskan panjang lebar tentang film yang akan dibuatnya. Film tentang Tuhan Yesus yang berbeda dari film-film lain yang pernah dibuah tentang Dia. Mel juga mengatakan bahwa akan sangat sulit dalam memerankan film ini. Salah satunya saya harus belajar bahasa dan dialek alamik, bahasa yang digunakan pada masa itu. dan Mel kemudian menatap tajam saya dan mengatakan sebuah resiko terbesar yang mungkin akan saya hadapi. Katanya, bila saya memerankan film ini, mungkin akan menjadi akhir dari karir saya sebagai aktor Holywood. Sebagai manusia biasa saya menjadi gentar dengan resiko tersebut. Memang, biasanya aktor pemeran Yesusu di Holywood tidak akan dipakai lagi dalam film-film lain. ditambah kemungkinan film ini akan dibenci oleh sekelompok orang Yahudi yang berpengaruh besar dalam bisnis pertunjukan di Holywood. Sehingga habislah seluruh karir saya dalam dunia perfilman.
Dalam kesenyapan menanti keputusan saya apakah jadi bermain dalam film itu, saya katakan padanya : “Mel, apakah engkau memilihku karena inisial namaku juga sama dengan Yesus (JC) dan umurku sekarang 33 tahun, sama dengan umur Yesus ketika Ia disalibkan?”
Mel menggeleng setengah terperangah, terkejut, menurutnya ni menjadi agak menakutkan. Dia tidak tahu akan hal itu, ataupun terluput dari perhatian. Dia memilih saya murni karena peran saya di The Thin Red Line.
Baiklah Mel, aku merasa itu bukan sebuah kebetulan. Ini tanda panggilanku. Semua orang harus memikul salibnya. Bila ia tidak mau memikulnya, maka ia akan tertindih salib itu. Aku tanggung resikonya. Mari kita buat film ini! Maka saya pun ikut terjun dalam proyek tersebut. dalam persiapan karakter selama berbulan-bulan saya terus bertanya-tanya, dapatkan saya melakukannya? Keraguan meliputi saya sepanjang waktu. Apa yang seorang Anak Tuhan pikirkan, rasakan, dan lakukan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut membingungkan saya, karena begitu banyak referensi mengenai Dia dari sudut pandang berbeda-beda.
Akhirnya hanya satu yang bisa saya lakukan, seperti yang Yesus banyak lakukan yaitu lebih banyak berdoa, memohon tuntunanNya melakukan semua ini. karena siapakah saya ini memerankan Dia yang begitu besar? Masa lalu saya bukan seorang yang dalam hubungan denganNya. Saya memang lahir dari keluarga Katolik yang taat, kebiasaan-kebiasaan baik dalam keluarga memang terus mengikuti dan menjadi dasar yang baik dalam diri saya. saya hanyalah seorang pemuda yang bermain bola basket dalam liga SMA dan kampus, yang bermimpi menjadi seorang pemain NBA yan gbesar. Namun, cedera engkel menghentikan karir saya sebagai atlet bola baasket. Saya sempat kecewa pada Tuhan karena cedera itu. Sepertinya, seluruh hidup saya sudah hancur.
Saya kemudian mencoba peruntungan dalam casting-casting. Sebuah peran sangat kecil membawa saya pada sebuah harapan bahwa seni peran mungkin menjadi jalan hidup saya. kemudian saya mendalami seni peran dengan masuk dalam akademi seni peran, samabil sehari-hari saya terus mengejar casting.
Dan kini saya telah berada di puncak peran saya. Benar Tuhan, Engkau yang telah merencanakan semuanya dan membawaku sampai disini. Engkau yang mengalihkanku dari karir di bola basket, menuntutku menjadi aktor, dan membuatku samapi pada titik ini. Karena Engkau yang telah memilihku, maka apapun yang akan terjadi, terjadilah sesuai kehendakMu.
Saya tidak membayangkan tantangan film ini jauh lebih sulit daripada bayangan saya. di make-up 8 jam setiap hari tanpa boleh bergerak dan tetap berdiri. Saya adalah orang satu-satunya di lokasi syuting yang hampir tidak pernah duduk. Sungguh tersiksa menyaksikan crew yang lain duduk-duduk santai sambil minum kopi. Kostum kasar yang sangat tidak nyaman menyebabkan gatal-gatal di tubuh saya sepanjang hari. syuting membuat saya sangat tertekan. Salib yang digunakan, diusahakan seasli mungkin seperti yang dipikul Yesus saat itu. saat mereka meletakkan salib itu di pundak saya, saya kaget dan berteriak kesakitan. Mereka mengira itu akting yang sangat baik. Padahal, saya sungguh-sungguh terkejut. Salib itu terlalu berat dan tidak mungkin orang biasa memikulnya. Namun saya mencoba dengan sekuat tenanga.
Yang terjadi kemudian setelah dicoba berjalan, bahu saya copot dan tubuh saya tertimpa salib yang sangat berat itu. dan saya pun melolong kesakitan meminta pertolongan. Para crew mengira itu akting yang luar biasa. mereka tidak tahu kalau saya dalam kecelakaan yang sebenarnya. Saya mulai memaki, menyumpah, dan hampir pingsan karena tidak tahan dengan sakitnya. Merekapun terkejut, sadar apa yang sesungguhnya terjadi dan segera memberikan saya perawatan medis.
Sungguh saya merasa seperti setan karena memaki dan menyumpah seperti itu, tapi saya hanya manusia biasa yang tidak bisa menahannya. Saat dalam pemulihan dan penyembuhan, Mel datang pada saya. Ia bertanya apakah saya ingin melanjutkan film ini. Dia berkata dia sangat mengerti kalau saya menolak untuk melanjutkan film ini.
Saya berkata pada Mel, saya tidak tahu kalau salib yang dipikul Tuhan Yesus seberat dan semenyakitkan seperti itu. Tapi kalau Tuhan Yesus mau memikul salib itu bagi saya, maka saya akan sangat malu kalau tidak memikulnya walalu sebagian kecil saja. mari kita teruskan film ini. Maka mereka mengganti salib itu dengan ukuran yang lebih kecil dan dengan bahan yang lebih ringan, agar bahu saya tidak terlepas lagi dan mengulang semua adegan pemikulan salib itu. Jadi, yang penonton lihat dalam film itu merupakan salib yang lebih kecil dari aslinya. Bagian syuting selanjutnya adalah bagian yang mungkin mengerikan bagi penonton dan juta bagi saya, yaitu syuting pencambukan Yesus.
Saya gemetar menghadapi adegan itu karena cambuk yang digunakan itu sungguhan. Sementara, punggung saya hanya dilindungi papan setebal 3 cm. Suatu waktu, para pemeran prajurit Roma itu mencambuk dan mengenai bagian sisi tubuh saya yang tidak terlindungi papan. Saya tersengat, berteriak kesakitan, bergulingan di tanah sambil memaki orang yang mencambuk saya.
Semua crew kaget dan segera mengerubungi saya untuk memberi pertolongan. Tapi bagian paling sulit, bahkan hampir gagal dibuat yaitu pada bagian penyaliban. Lokasi syuting di Italia sangat sulit, sedingin musim salju. Para crew dan figuran harus menggunakan mantel yang sangat tebal untuk menahan dingin. Sementara, saya harus telanjang dan tergantung di atas kayu salib, di atas bukit yang tertinggi di situ. Angin dari bukit itu bertiup seperti ribuan pisau menghujam tubuh saya. saya terkena hypothermia (penyakit kedinginan yang biasanya mematikan). Seluruh tubuh saya lumpuh takbisa bergerak. Mulut saya gemetar bergoncang tak terkendalikan. Mereka menghentikan syuting karena nyawa saya jadi taruhannya.
Semua tekanan, tantangan, kecelakaan, dan penyakit membawa saya kepada batas kemanusiaan saya. dari adegan ke adegan lain, semua crew hany amenonton dan menunggu saya sampai batas kemanusiaan saya. saat saya tidak mampu lagi, baru mereka menghentikan adegan itu. ini semua membawa saya pada batas-batas fisik dan jiwa saya sebagai manusia. Saya sungguh hampir gila dan tidak tahan dengan semua itu sehingga sering kali saya harus lari jauh dari lokasi syuting untuk berdoa. Hanya utnuk berdoa, berseru pada Tuhan kalau saya tidak mampu lagi dan memohon agar Dia memberi kekuatan bagi saya untuk melanjutkan semuanya ini. Saya tidak bisa, masih tidakbisa membayangkan bagaimana Yesus sendiri melalui semua itu. Bagaimana menderitanya Ia! Dia bukan sekedar mati, tetapi mengalami penderitaan yang luar biasa, panjang, dan sangat menyakitkan, bagi fisik dan juga jiwaNya.
Dan persitiwa terakhir yang merupakan mujizat dalam pembuatan film itu adalah saat saya ada di atas kayu salib. Saat itu lokasi syuting mendung gelap karena badai akan datang. Petir sambar menyambar di atas kami. Tapi Mel tidak menghentikan pengambilan gambar karena memang cuaca saat itu ideal sama seperti yang seharusnya terjadi seperti yang diceriterakan. Saya ketakutan tergantung di atas kayu salib itu. Selain karena kami ada di bukit yang tinggi, saya adalah objek yang paling tinggi untuk dapat dihantam oleh halilintar. Baru saja saya berpikir ingin segera turun karena takut pada petir, sebuah sakit yang luar biasa menghantam saya besarta cahaya silau dan suara menggelegar yang sangat kencang. Dan sayapun tidak sadarkan diri.
Yang saya tahu kemudian banyak orang yang memanggil-manggil meneriakkan nama saya. Ketika saya membuka mata, semua crew yang telah berkumpul di sekeliling saya berteriak-teriak, “Dia sadar! Dia sadar!”. “Apa yang terjadi?”, tanya saya. mereka bercerita bahwa sebuah halilintar telah menhantam saya di atas salib itu sehingga mereka segera menurunkan saya dari situ. Tubuh saya menghitam karena hangus dan rambut saya berasap, berubah menjadi model Don King. Sungguh sebuah mujizat kalau saya selamat dari peristiwa itu.
Melihat dan merenungkan semua itu, seringkali saya bertanya, “Tuhan, apakah Engkau menginginkan film ini dibuat? Mengapa semua kesulitan ini terjadi? Apakah Engkau menginginkan film ini untuk dihentikan?” Namun, saya terus berjalan. Kita harus melakukan apa yang harus kita lakukan. Selama itu benar, kita harus terus melangkah. Semuanya itu adalah ujian terhadap iman kita agar kita tetap dekat padaNya, supaya iman kita tetap kuat dalam ujian.
Orang-orang bertanya bagaimana perasaan saya saat syuting itu memerankan Yesus. Oh? Itu sangat luar biasa? Mengagumkan? Tidak dapat saya ungkapkan dengan kata-kata. Selama syuting itu ada sebuah hadirat Tuhan yang kuat yang melingkupi kami semua, seakan-akan Tuhan sendiri berada di situ, menjadi sutradara atau merasuki saya memerankan diriNya sendiri.
Itu adalah pengalaman yang tak terkatakan. Semua yang ikut terlibat dalam fil itu mengalami lawatan Tuhan dan perubahan dalam hidupnya, tanpa ada yang terkecuali. Pemeran salah satu prajurit Roma yang mencambuki saya itu adalah seorang muslim. Setelah adegan tersebut, ia menangis dan menerima Yesus sebagai Tuhannya. Adegan itu begitu menyentuhnya. Itu sungguh luar biasa! Padahal, awalnya dia datang hanya karena panggilan profesi dan pekerjaan saja. Demi uang! Namun pengalaman dalam film itu mengubah kami semua. Pengalaman yang tidak akan terlupakan.
Dan Tuhan sungguh baik. Walaupun film itu menjadi kontroversi, tapi ternyata ramalan bahwa karir saya berhenti tidak terbukti. Berkat Tuhan tetap mengalir dalam pekerjaan saya sebagai aktor. Walaupun saya harus memilah-milah dan membatasi tawaran peran sejak saya memerankan film itu.
Saya harap, mereka yang menonton The Passion Of The Christ tidak melihat saya sebagai aktornya. Saya hanyalah manusia biasa yang bekerja sebagai aktor. Jangan kemudian melihat saya dalam sebuah film lain kemudian mengaitkannya dengan peran saya dalam The Passion Of The Christ dan menjadi kecewa. Tetap pandang hanya pada Yesus saja dan jangan lihat yang lain. sejak banyak bergumul danberdoa dalam film itu, berdoa menjadi kebiasaan yang tak terpisahkan dalam hidup saya. saya berharap juga hal yan gsama terjadi pada hidup anda. Amin. “GOD BLESS US”
Disadur dari Pondok Renungan
Setelah membaca kesaksian di atas, apa yang pertama kali terlintas dalam pikiran anda? Atau apa yang anda rasakan? Tiap-tiap orang punya pengalaman-pengalaman yang berbeda-beda dengan Tuhan. Saya berharap, postingan ini bisa memberkati kita semua. Saya juga berharap, postingan ini dapat disebarluaskan agar semakin banyak orang yang membacanya dan semakin banyak yang diberkati.
Labels:
kesaksian Jim Caviezel,
paskah

3 komentar:
koq bisa ya.. JC=Jim Caviezel as Jesus Christ (33th)OMG.. >o<
tp .. T_T hebat yah..
n.. bener tuh.. mesti lihat tokohnya bukan sebagai dirinya..
proud of u, Jim..
d(^_^)b
keren ......follow blogku juga hahaha
thank's for comment..
happy blogging!!
Posting Komentar
Feel free to leave your comment here! I'll be very happy to read them! Thank's a lot!